Sabtu, 16 Agustus 2008

Dikutip dari Milis sebelah

Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari
depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal. Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulumerekah.
Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat
itu tegas dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakan-nya) serta sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi
kaos kaki putih. Sesaat batin saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir
dan tasbih.
Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya
bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran
Mimin tiba Semua memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikannya.

Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik.
Wawasannya luas, pengamatannya akurat. Saya tengah memandang wajahdengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan nada datar.
"Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya." Ia tersenyum.
"Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak orang akan
pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah
memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar saat orang lain melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah," Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum.

"Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu saja."

Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. "Saya
kuliah di Fakultas Psikologi," katanya seraya menambahkan bahwa
teman-teman pria dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat
kuliahnya itu-senantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila
kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam
datang serta jam mata kuliah yang diikutinya. "Di antara mereka ada yangmembawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah, ada juga yangmenunggu di atas," kenangnya. Dan civitas academica yang lain?
Menurut Mimin ia sering mendengar orang menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya. "Mereka berkata: Ya Allah, bisa juga ya dia kuliah,"
senyumnya mengembang lagi. "Saya bahagia karena mereka menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah, keluarga,
kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah memang Maha Besar.

"Begitu kata mereka."
Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia
tak pernah ber-mimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. "Kita
tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seorang yang cacat seperti saya. Ya tawakal saja." Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh, mapan dan normal melamarnya.

"Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak orang menyebut-nyebut
nama Allah dengan takjub. Allah itu maha kuasa, ya. Maha adil! Masya
Allah,Alhamdulillah, dan sebagainya," ujarnya penuh syukur.

Saya memandang Mimin dalam. Menyelami batinnya dengan mata
mengembun.
"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang
yang tak mengenal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan asma Allah.
Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke
bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimanapun saat seorang
ibu melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya
pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak
semua akan menjadi mudah.
Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu bidan," pipi Mimin
memerah kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka mengingat
Allah.
Allahu Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang. "
Hening. Ia terdiam agak lama. Mata saya basah, menyelami batin Mimin.
Tiba-tiba saya merasa syukur saya teramat dangkal dibandingkan
nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa. Yang selama ini telah saya lakukan bukanlah apa-apa.
Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya
duduk sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya,
saya menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada Allah saat
memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?
Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan
saya masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur kepelukannya.
Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak tangan
kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya seperti melihat
anak saya, yangselalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Allah betapa
banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku. Ketika Mimin pamit seraya
merangkul saya dengan erat dan berkata betapa dia mencintai saya
karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya.
"Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi, yang telah memberi pelajaran
pada saya dari pertemuan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah persaudaraan
kami di Sabilillah. Selamanya. Amin."
Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya
pada Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.

>> .....Dunia adalah perhiasan ,dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita

yang solehah
_________________
Hidup ini Cuma Sebentar Gunakanlah Untuk Beramal.
oleh Helvy Tiana Rosa

diposting oleh hadratwaffa pada

1 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]



<< Beranda


noscript>



Affiliate program Web Counters
Free Blog Content