Minggu, 31 Agustus 2008
Minggu, 17 Agustus 2008
Mungkin bisa buat bahan renungan .....
Baru-baru ini di Atlantic City - AS, seorang wanita lugu memenangkan sekeranjang koin dari mesin judi. Kemudian ia bermaksud makan malam bersama suaminya. Namun, sebelum itu ia hendak menurunkan sekeranjang koin tersebut di kamarnya. Maka ia pun menuju lift.
Waktu ia masuk lift sudah ada 2 orang hitam di dalamnya. Salah satunya sangat besar . . . Besaaaarrrr sekali.
Wanita itu terpana. Ia berpikir, "Dua orang ini akan merampokku." Tapi pikirnya lagi, "Jangan menuduh, mereka sepertinya baik dan ramah."
Tapi rasa rasialnya lebih besar sehingga ketakutan mulai menjalarinya.
Ia berdiri sambil memelototi kedua orang tersebut. Dia sangat ketakutan dan malu. Ia berharap keduanya tidak dapat membaca pikirannya, tapi Tuhan, mereka harus tahu yang saya pikirkan!
Untuk menghindari kontak mata, ia berbalik menghadap pintu lift yang mulai tertutup. Sedetik . . . dua detik . . . dan seterusnya.
Ketakutannya bertambah! Lift tidak bergerak! Ia makin panik! Ya Tuhan, saya terperangkap dan mereka akan merampok saya. Jantungnya berdebar, keringat dingin mulai bercucuran.
Lalu, salah satu dari mereka berkata, "Hit the floor". Saking paniknya, wanita itu tiarap di lantai lift dan membuat koin berhamburan dari keranjangnya.
Dia berdoa, ambillah uang saya dan biarkanlah saya hidup.
Beberapa detik berlalu. Kemudian dia mendengar salah seorang berkata dengan sopan, "Bu, kalau Anda mau mengatakan lantai berapa yang Anda tuju, kami akan menekan tombolnya." Pria tersebut agak sulit untuk mengucapkan kata- katanya karena menahan diri untuk tertawa.
Wanita itu mengangkat kepalanya dan melihat kedua orang tersebut.
Merekapun menolong wanita tersebut berdiri. "Tadi saya menyuruh teman saya untuk menekan tombol lift dan bukannya menyuruh Anda untuk tiarap di lantai lift," kata seorang yang bertubuh sedang.
Ia merapatkan bibirnya berusaha untuk tidak tertawa.
Wanita itu berpikir, "Ya Tuhan, betapa malunya saya. Bagaimana saya harus meminta maaf kepada mereka karena saya menyangka mereka akan merampokku."
Mereka bertiga mengumpulkan kembali koin-koin itu ke dalam keranjangnya.
Ketika lift tiba di lantai yang dituju wanita itu, mereka berniat untuk mengantar wanita itu ke kamarnya karena mereka khawatir wanita itu tidak kuat berjalan di sepanjang koridor.
Sesampainya di depan pintu kamar, kedua pria itu mengucapkan selamat malam, dan wanita itu mendengar kedua pria itu tertawa terbaha-bahak sepuasnya sepanjang jalan kembali ke lift.
Wanita itu kemudian berdandan dan menemui suaminya untuk makan malam.
Esok paginya bunga mawar dikirim ke kamar wanita itu, dan di setiap kuntum bunga mawar tersebut terdapat lipatan uang sepuluh dolar.
Pada kartunya tertulis: "Terima kasih atas tawa terbaik yang pernah kita lakukan selama ini."
Tertanda:
* Eddie Murphy
* Michael Jordan
(kita tahu Eddie Murphy adalah bintang film Holywood papan atas, dan Michael Jordan adalah bintang basket NBA)
* * * *
Pesan Moral dari cerita di atas :
Sikap hidup kita sangatlah menentukan kehidupan kita. Sikap yang positif dalam menanggapi persoalan hidup akan sangat berpengaruh bagi kebahagiaan kita. Pikiran yang negatif akan membawa kita terperosok jatuh semakin dalam karena kita melihat segala sesuatu adalah penderitaan.
Namun, pikiran yang positif membawa kita kepada hal-hal yang positif pula.
Positif dalam menghadapi kehidupan yang serba ini, positif dalam sikap kita kepada sesama, positif merencanakan hari esok dan positif juga terhadap diri sendiri. Tuhan menciptakan kita luar biasa. Bersama Tuhan kita sanggup melakukan perkara- perkara besar .... yang positif tentunya.
Baru-baru ini di Atlantic City - AS, seorang wanita lugu memenangkan sekeranjang koin dari mesin judi. Kemudian ia bermaksud makan malam bersama suaminya. Namun, sebelum itu ia hendak menurunkan sekeranjang koin tersebut di kamarnya. Maka ia pun menuju lift.
Waktu ia masuk lift sudah ada 2 orang hitam di dalamnya. Salah satunya sangat besar . . . Besaaaarrrr sekali.
Wanita itu terpana. Ia berpikir, "Dua orang ini akan merampokku." Tapi pikirnya lagi, "Jangan menuduh, mereka sepertinya baik dan ramah."
Tapi rasa rasialnya lebih besar sehingga ketakutan mulai menjalarinya.
Ia berdiri sambil memelototi kedua orang tersebut. Dia sangat ketakutan dan malu. Ia berharap keduanya tidak dapat membaca pikirannya, tapi Tuhan, mereka harus tahu yang saya pikirkan!
Untuk menghindari kontak mata, ia berbalik menghadap pintu lift yang mulai tertutup. Sedetik . . . dua detik . . . dan seterusnya.
Ketakutannya bertambah! Lift tidak bergerak! Ia makin panik! Ya Tuhan, saya terperangkap dan mereka akan merampok saya. Jantungnya berdebar, keringat dingin mulai bercucuran.
Lalu, salah satu dari mereka berkata, "Hit the floor". Saking paniknya, wanita itu tiarap di lantai lift dan membuat koin berhamburan dari keranjangnya.
Dia berdoa, ambillah uang saya dan biarkanlah saya hidup.
Beberapa detik berlalu. Kemudian dia mendengar salah seorang berkata dengan sopan, "Bu, kalau Anda mau mengatakan lantai berapa yang Anda tuju, kami akan menekan tombolnya." Pria tersebut agak sulit untuk mengucapkan kata- katanya karena menahan diri untuk tertawa.
Wanita itu mengangkat kepalanya dan melihat kedua orang tersebut.
Merekapun menolong wanita tersebut berdiri. "Tadi saya menyuruh teman saya untuk menekan tombol lift dan bukannya menyuruh Anda untuk tiarap di lantai lift," kata seorang yang bertubuh sedang.
Ia merapatkan bibirnya berusaha untuk tidak tertawa.
Wanita itu berpikir, "Ya Tuhan, betapa malunya saya. Bagaimana saya harus meminta maaf kepada mereka karena saya menyangka mereka akan merampokku."
Mereka bertiga mengumpulkan kembali koin-koin itu ke dalam keranjangnya.
Ketika lift tiba di lantai yang dituju wanita itu, mereka berniat untuk mengantar wanita itu ke kamarnya karena mereka khawatir wanita itu tidak kuat berjalan di sepanjang koridor.
Sesampainya di depan pintu kamar, kedua pria itu mengucapkan selamat malam, dan wanita itu mendengar kedua pria itu tertawa terbaha-bahak sepuasnya sepanjang jalan kembali ke lift.
Wanita itu kemudian berdandan dan menemui suaminya untuk makan malam.
Esok paginya bunga mawar dikirim ke kamar wanita itu, dan di setiap kuntum bunga mawar tersebut terdapat lipatan uang sepuluh dolar.
Pada kartunya tertulis: "Terima kasih atas tawa terbaik yang pernah kita lakukan selama ini."
Tertanda:
* Eddie Murphy
* Michael Jordan
(kita tahu Eddie Murphy adalah bintang film Holywood papan atas, dan Michael Jordan adalah bintang basket NBA)
* * * *
Pesan Moral dari cerita di atas :
Sikap hidup kita sangatlah menentukan kehidupan kita. Sikap yang positif dalam menanggapi persoalan hidup akan sangat berpengaruh bagi kebahagiaan kita. Pikiran yang negatif akan membawa kita terperosok jatuh semakin dalam karena kita melihat segala sesuatu adalah penderitaan.
Namun, pikiran yang positif membawa kita kepada hal-hal yang positif pula.
Positif dalam menghadapi kehidupan yang serba ini, positif dalam sikap kita kepada sesama, positif merencanakan hari esok dan positif juga terhadap diri sendiri. Tuhan menciptakan kita luar biasa. Bersama Tuhan kita sanggup melakukan perkara- perkara besar .... yang positif tentunya.
Sabtu, 16 Agustus 2008
My beloved Son
My beloved Son
Aku tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu.sebelum kulanjutkan,bacalah surat ini sebagai surat seorang laki-laki kepada seorang laki-laki;surat seorang ayah kepada seorang anak.
Nak,menjadi ayah itu indah dan mulia.besar kecemasanku saat menanti kelahiranmu dulu,belumlah hilang hingga saat ini.kecemasan yang indah karena ia didasari oleh sebuah cinta.sebuag cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang dicintai belum sekalipun kutemui.
Nak….! menjadi ayah itu mulia.Bacalah sejarah Nabi-Nabi dan Rasul lalu temukanlah betapa nasehat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan anak-anaknya.
Meskipun demikian,ketahuilah,menjadi ayah itu berat dan sulit.Tapi kuakui,betapa sepanjang masa kehadiranmu disisiku,aku seperti menemui keberadaanku,makna keberadaanmu,dan makna tugas kebapakanku terhadapmu.sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku banggakan di depan siapapun.bahkan dihadapan Allah,ketika aku duduk berduaan berhadapan denganNya,hingga saat usia merambat senjaku ini.
Nak…! Saat pertama engkau hadir,kucium,kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan ibumu,sebagai bukti bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun.
Tapi seiring waktu,ketika engkau suatu kali telah mampu berkata “ TIDAK” timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya.engkau bukan milikku,atau milik ibumu,engkau lahir bukan karena cintaku dan cinta ibumu,engkau adalah milik Allah,tak ada hakku menuntut pengabdian darimu,karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya untuk Allah.
Nak.! Sedih,pedih dan terhempaskan rasanya kala menyadari siap sebenarnya aku dan siapa engkau.dan dalam waktu panjang dimalam-malam hening,kusesali itu sepenuh-penuh air mata dihadapan Allah ……….syukurlah ,penyesalan itu mencerahkanku.
Hadrat Muhammad Waffa jadilah penyejuk mata
Dikutip dari Milis sebelah
Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari
depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal. Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulumerekah.
Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat
itu tegas dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakan-nya) serta sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi
kaos kaki putih. Sesaat batin saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir
dan tasbih.
Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya
bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran
Mimin tiba Semua memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikannya.
Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik.
Wawasannya luas, pengamatannya akurat. Saya tengah memandang wajahdengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan nada datar.
"Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya." Ia tersenyum.
"Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak orang akan
pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah
memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar saat orang lain melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah," Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum.
"Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu saja."
Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. "Saya
kuliah di Fakultas Psikologi," katanya seraya menambahkan bahwa
teman-teman pria dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat
kuliahnya itu-senantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila
kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam
datang serta jam mata kuliah yang diikutinya. "Di antara mereka ada yangmembawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah, ada juga yangmenunggu di atas," kenangnya. Dan civitas academica yang lain?
Menurut Mimin ia sering mendengar orang menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya. "Mereka berkata: Ya Allah, bisa juga ya dia kuliah,"
senyumnya mengembang lagi. "Saya bahagia karena mereka menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah, keluarga,
kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah memang Maha Besar.
"Begitu kata mereka."
Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia
tak pernah ber-mimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. "Kita
tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seorang yang cacat seperti saya. Ya tawakal saja." Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh, mapan dan normal melamarnya.
"Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak orang menyebut-nyebut
nama Allah dengan takjub. Allah itu maha kuasa, ya. Maha adil! Masya
Allah,Alhamdulillah, dan sebagainya," ujarnya penuh syukur.
Saya memandang Mimin dalam. Menyelami batinnya dengan mata
mengembun.
"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang
yang tak mengenal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan asma Allah.
Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke
bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimanapun saat seorang
ibu melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya
pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak
semua akan menjadi mudah.
Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu bidan," pipi Mimin
memerah kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka mengingat
Allah.
Allahu Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang. "
Hening. Ia terdiam agak lama. Mata saya basah, menyelami batin Mimin.
Tiba-tiba saya merasa syukur saya teramat dangkal dibandingkan
nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa. Yang selama ini telah saya lakukan bukanlah apa-apa.
Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya
duduk sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya,
saya menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada Allah saat
memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?
Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan
saya masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur kepelukannya.
Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak tangan
kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya seperti melihat
anak saya, yangselalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Allah betapa
banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku. Ketika Mimin pamit seraya
merangkul saya dengan erat dan berkata betapa dia mencintai saya
karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya.
"Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi, yang telah memberi pelajaran
pada saya dari pertemuan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah persaudaraan
kami di Sabilillah. Selamanya. Amin."
Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya
pada Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.
>> .....Dunia adalah perhiasan ,dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita
yang solehah
_________________
Hidup ini Cuma Sebentar Gunakanlah Untuk Beramal.
oleh Helvy Tiana Rosa
Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari
depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal. Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulumerekah.
Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat
itu tegas dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakan-nya) serta sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi
kaos kaki putih. Sesaat batin saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir
dan tasbih.
Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya
bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran
Mimin tiba Semua memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikannya.
Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik.
Wawasannya luas, pengamatannya akurat. Saya tengah memandang wajahdengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan nada datar.
"Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya." Ia tersenyum.
"Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak orang akan
pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah
memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar saat orang lain melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah," Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum.
"Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu saja."
Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. "Saya
kuliah di Fakultas Psikologi," katanya seraya menambahkan bahwa
teman-teman pria dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat
kuliahnya itu-senantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila
kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam
datang serta jam mata kuliah yang diikutinya. "Di antara mereka ada yangmembawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah, ada juga yangmenunggu di atas," kenangnya. Dan civitas academica yang lain?
Menurut Mimin ia sering mendengar orang menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya. "Mereka berkata: Ya Allah, bisa juga ya dia kuliah,"
senyumnya mengembang lagi. "Saya bahagia karena mereka menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah, keluarga,
kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah memang Maha Besar.
"Begitu kata mereka."
Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia
tak pernah ber-mimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. "Kita
tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seorang yang cacat seperti saya. Ya tawakal saja." Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh, mapan dan normal melamarnya.
"Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak orang menyebut-nyebut
nama Allah dengan takjub. Allah itu maha kuasa, ya. Maha adil! Masya
Allah,Alhamdulillah, dan sebagainya," ujarnya penuh syukur.
Saya memandang Mimin dalam. Menyelami batinnya dengan mata
mengembun.
"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang
yang tak mengenal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan asma Allah.
Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke
bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimanapun saat seorang
ibu melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya
pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak
semua akan menjadi mudah.
Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu bidan," pipi Mimin
memerah kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka mengingat
Allah.
Allahu Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang. "
Hening. Ia terdiam agak lama. Mata saya basah, menyelami batin Mimin.
Tiba-tiba saya merasa syukur saya teramat dangkal dibandingkan
nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa. Yang selama ini telah saya lakukan bukanlah apa-apa.
Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya
duduk sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya,
saya menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada Allah saat
memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?
Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan
saya masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur kepelukannya.
Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak tangan
kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya seperti melihat
anak saya, yangselalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Allah betapa
banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku. Ketika Mimin pamit seraya
merangkul saya dengan erat dan berkata betapa dia mencintai saya
karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya.
"Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi, yang telah memberi pelajaran
pada saya dari pertemuan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah persaudaraan
kami di Sabilillah. Selamanya. Amin."
Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya
pada Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.
>> .....Dunia adalah perhiasan ,dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita
yang solehah
_________________
Hidup ini Cuma Sebentar Gunakanlah Untuk Beramal.
oleh Helvy Tiana Rosa
Senin, 11 Agustus 2008
Minggu, 10 Agustus 2008
From Oprah Winfrey show
Pada acara tersebut ditampilkan seorang gadis mungil berusia 5 tahun, asal USA, mengenakan kacamata plastik (mirip kacamata renang), lucu, manis, secara fisik terlihat normal (agak gemuk), dan berperilaku seperti anak-anak seusianya pada umumnya.
Hanya saja, si gadis kecil ini mengidap suatu penyakit bawaan sejak lahir yang sangat langka, yaitu tidak memiliki rasa sakit (tidak memiliki syaraf rasa sakit) di sekujur tubuhnya.
Sejak bayi, si kecil jarang rewel, atau menangis. Hanya terkadang suhu badannya yang menghangat. Penyakit bawaan yang diderita si kecil itupun baru diketahui (kalau tidak salah) ketika sang bocah mencolok-colok matanya karena gatal, dan tidak menangis kesakitan. Hanya saja darah tetap mengalir keluar. Akibat kejadian tersebut, satu matanya menjadi buta. Setelah kejadian itu, barulah dikenakan kacamata khusus untuk melindunginya.
Pernah suatu ketika, ketika gigi si kecil sudah tumbuh, saat kedua orangtuanya agak lengah, si kecil sedang asyik menggigit-gigit jari tangannya sendiri hingga hancur. Tentu saja si kecil tidak tetap tenang karena sama sekali tidak merasakan sakit. Sebagai pencegahan, akhirnya diputuskan untuk mencabut semua giginya, tanpa sisa. Terutama sebagai pencegahan agar dia tidak sampai mengunyah lidahnya sendiri karena akan dianggap sebagai permen karet!!
Karena kejadian-kejadian itulah, si kecil mendapat 'perhatian dan pengawasan extra' dari seluruh anggota keluarganya (kedua orang tuanya dan sang kakak). Karena dia telah kehilangan sensitifitas akan adanya bahaya bahaya yang bisa menimpanya, hingga kini.
Semoga bermanfaat, dan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Dan kita kembali merenungi dan mensyukuri semua nikmat yang telah diberikan Allah Subhana wata'ala kepada kita serta meyakini bahwa segala ciptaan dan pemberian Allah Subhana wata'ala adalah tidak sia-sia. Termasuk rasa sakit yang seringkali kita tidak sabar untuk menghadapinya.
Hanya saja, si gadis kecil ini mengidap suatu penyakit bawaan sejak lahir yang sangat langka, yaitu tidak memiliki rasa sakit (tidak memiliki syaraf rasa sakit) di sekujur tubuhnya.
Sejak bayi, si kecil jarang rewel, atau menangis. Hanya terkadang suhu badannya yang menghangat. Penyakit bawaan yang diderita si kecil itupun baru diketahui (kalau tidak salah) ketika sang bocah mencolok-colok matanya karena gatal, dan tidak menangis kesakitan. Hanya saja darah tetap mengalir keluar. Akibat kejadian tersebut, satu matanya menjadi buta. Setelah kejadian itu, barulah dikenakan kacamata khusus untuk melindunginya.
Pernah suatu ketika, ketika gigi si kecil sudah tumbuh, saat kedua orangtuanya agak lengah, si kecil sedang asyik menggigit-gigit jari tangannya sendiri hingga hancur. Tentu saja si kecil tidak tetap tenang karena sama sekali tidak merasakan sakit. Sebagai pencegahan, akhirnya diputuskan untuk mencabut semua giginya, tanpa sisa. Terutama sebagai pencegahan agar dia tidak sampai mengunyah lidahnya sendiri karena akan dianggap sebagai permen karet!!
Karena kejadian-kejadian itulah, si kecil mendapat 'perhatian dan pengawasan extra' dari seluruh anggota keluarganya (kedua orang tuanya dan sang kakak). Karena dia telah kehilangan sensitifitas akan adanya bahaya bahaya yang bisa menimpanya, hingga kini.
Semoga bermanfaat, dan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Dan kita kembali merenungi dan mensyukuri semua nikmat yang telah diberikan Allah Subhana wata'ala kepada kita serta meyakini bahwa segala ciptaan dan pemberian Allah Subhana wata'ala adalah tidak sia-sia. Termasuk rasa sakit yang seringkali kita tidak sabar untuk menghadapinya.
Diambil dari sebuah kisah nyata:
IBU..............
Ibuku hanya punya satu mata. Aku membencinya, bagiku Ibuku sangat memalukan. Suatu hari Ibuku datang ke sekolahku hanya sekedar untuk menyapaku.. Aku sangat marah.. Bagaimana dia bisa melakukan hal yang memalukan seperti itu padaku? Aku sama sekali tidak mempedulikannya, aku hanya menatapnya dengan pandangan benci sambil berlari pergi. Esoknya di sekolah, salah satu temanku berkata "Eeee, ternyata Ibumu bermata satu." Aku sangat marah mendengar ejekan temanku, lalu aku ingin Ibuku menghilang. Jadi aku mendatanginya dan berkata dengan keras, " Jika kau hanya akan membuatku malu di sekolah, kenapa kau tidak mati saja?!!!!" Ibuku hanya diam. Aku sama sekali tidak menyesali perkataanku karena aku sangat marah. Aku tidak memperdulikan perasaannya. Lalu aku keluar dari rumah. Aku mulai belajar dengan giat agar mendapatkan kesempatan untuk belajar di Singapura.
Lalu aku menikah, aku membeli rumah dengan hasil jerih payahku sendiri. Aku mempunyai anak, dan aku merasa sangat bahagia dengan hidupku. Suatu hari, Ibuku datang mengunjungiku. Sudah lama dia tidak melihatku dan bahkan tidak pernah berjumpa dengan cucu-cucunya. Saat Ibuku berdiri di depan pintu, anakku menertawainya. Lalu aku berteriak pada Ibuku, "Beraninya kau datang ke rumahku dan menakuti anak-anakku! Keluar dari rumahku, sekarang!!!" Dengan sangat pelan Ibuku menjawab, "Aku minta maaf, mungkin aku salah alamat." Lalu dia menghilang.
Suatu hari, aku mendapatkan undangan reuni sekolah. Aku berbohong pada Istriku bahwa aku ada urusan bisnis di luar negeri. Setelah acara reuni sekolah selesai, aku pergi ke rumah orang tua yang mengerikan itu!!! Tetanggaku bilang bahwa Ibuku sudah meninggal. Aku bahkan tidak meneteskan air mata. Ibuku memberiku surat yang dititipkan kepada tetanggaku.
"Anakku tercinta, aku selalu memikirkanmu... Aku minta maaf karena aku datang ke Singapura dan menakut-nakuti anak-anakmu. Aku sangat senang saat aku dengar kamu akan datang pada acara reuni sekolahmu. Tapi mungkin aku tidak bisa bangun dari ranjang untuk menemuimu. Aku minta maaf karena aku menjadi Ibu yang menakutkan saat kamu tumbuh dewasa. Kau tahu... pada saat kamu masih kecil, kamu kecelakaan dan kehilangan salah satu matamu. Sebagai Ibu, aku tidak bisa membiarkanmu tumbuh hanya dengan satu mata. Jadi, aku memberikan mataku. Aku sangat bangga padamu yang telah melihat sebagian besar dunia untukku, dengan mata itu."
Dengan cinta, Ibumu......
"The Prophet (sall-Allahu alayhi wassalam) told us that we must obey Allah and His messenger at all times but after that Comes your mother then your mother then your mother then your father."
IBU..............
Ibuku hanya punya satu mata. Aku membencinya, bagiku Ibuku sangat memalukan. Suatu hari Ibuku datang ke sekolahku hanya sekedar untuk menyapaku.. Aku sangat marah.. Bagaimana dia bisa melakukan hal yang memalukan seperti itu padaku? Aku sama sekali tidak mempedulikannya, aku hanya menatapnya dengan pandangan benci sambil berlari pergi. Esoknya di sekolah, salah satu temanku berkata "Eeee, ternyata Ibumu bermata satu." Aku sangat marah mendengar ejekan temanku, lalu aku ingin Ibuku menghilang. Jadi aku mendatanginya dan berkata dengan keras, " Jika kau hanya akan membuatku malu di sekolah, kenapa kau tidak mati saja?!!!!" Ibuku hanya diam. Aku sama sekali tidak menyesali perkataanku karena aku sangat marah. Aku tidak memperdulikan perasaannya. Lalu aku keluar dari rumah. Aku mulai belajar dengan giat agar mendapatkan kesempatan untuk belajar di Singapura.
Lalu aku menikah, aku membeli rumah dengan hasil jerih payahku sendiri. Aku mempunyai anak, dan aku merasa sangat bahagia dengan hidupku. Suatu hari, Ibuku datang mengunjungiku. Sudah lama dia tidak melihatku dan bahkan tidak pernah berjumpa dengan cucu-cucunya. Saat Ibuku berdiri di depan pintu, anakku menertawainya. Lalu aku berteriak pada Ibuku, "Beraninya kau datang ke rumahku dan menakuti anak-anakku! Keluar dari rumahku, sekarang!!!" Dengan sangat pelan Ibuku menjawab, "Aku minta maaf, mungkin aku salah alamat." Lalu dia menghilang.
Suatu hari, aku mendapatkan undangan reuni sekolah. Aku berbohong pada Istriku bahwa aku ada urusan bisnis di luar negeri. Setelah acara reuni sekolah selesai, aku pergi ke rumah orang tua yang mengerikan itu!!! Tetanggaku bilang bahwa Ibuku sudah meninggal. Aku bahkan tidak meneteskan air mata. Ibuku memberiku surat yang dititipkan kepada tetanggaku.
"Anakku tercinta, aku selalu memikirkanmu... Aku minta maaf karena aku datang ke Singapura dan menakut-nakuti anak-anakmu. Aku sangat senang saat aku dengar kamu akan datang pada acara reuni sekolahmu. Tapi mungkin aku tidak bisa bangun dari ranjang untuk menemuimu. Aku minta maaf karena aku menjadi Ibu yang menakutkan saat kamu tumbuh dewasa. Kau tahu... pada saat kamu masih kecil, kamu kecelakaan dan kehilangan salah satu matamu. Sebagai Ibu, aku tidak bisa membiarkanmu tumbuh hanya dengan satu mata. Jadi, aku memberikan mataku. Aku sangat bangga padamu yang telah melihat sebagian besar dunia untukku, dengan mata itu."
Dengan cinta, Ibumu......
"The Prophet (sall-Allahu alayhi wassalam) told us that we must obey Allah and His messenger at all times but after that Comes your mother then your mother then your mother then your father."